Peran Pola Asuh Orang Tua Di Era Digital
Perkembangan teknologi yang semakin pesat di era digital sekarang ini, menyebabkan nilai-nilai yang dilahirkan, baik positif maupun negatif ikut juga mengalami kejutan yang luar biasa juga bagi manusia. Dari kejutan tersebut, sehingga peran orang tua dalam mendidik anaknya ikut juga mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan zamannya. Di era 80-an, orang tua dalam mendidik anaknya, pasti mengalami perbedaan di era digital saat ini. Pola asuh orang tua yang pada awalnya mengalami perbedaan dari orang tua lainnya, yang hanya menerapkan tipe pola asuh otoriter, permisif, demokrasi, sudah mengalami keberhasilan dalam mendidik anak, tetapi di zaman era digital, maka ketiga pola asuh tersebut tidak akan berhasil, jika tidak melakukan sinkronisasi sesuai waktu situasi dan kondisi dalam hal mengasuh anak.
Saat ini, manusia telah hidup di era digital, mengalami perkembangan teknologi yang luar biasa. Manusia tidak bisa hidup tanpa teknologi. Teknologi adalah segala-galanya bagi manusia, sehingga dampak postitif dan negatif bagi manusia ikut juga menaunginya. Dampak negatif yang sangat dirasakan dari kecanggihan era digital saat ini sungguh terlihat dengan jelas sekali, seperti tingkah laku moral anak yang cukup memprihatinkan. Oleh karena itu, peran pola asuh orang tua dalam lingkungan keluarga, sangat menentukan nilai-nilai yang didapatkan oleh anak.
Menurut Hurlock, untuk mengantisipasi anak-anak di zaman era digital sekarang, yang paling berkesan adalah pola asuh. Sistem pola asuh ini juga, menampilkan teladan yang baik oleh otang tua kepada anaknya (Tridonanto, 2014). Selain itu juga, orang tua yang hidup di zaman era digital ini, bukan juga hanya menguasai teknologi di zaman sekarang, tetapi mempunyai pengetahuan-pengetahuan terhadap perkembangan anaknya (Muhammad Hayyumas, 2016; Singgih D. Gunarsa & Yulia Singgih D. Gunarsa, 2008). Apalagi, orang tua merupakan "oase" bagi anak. "Tempat anak mencurahkan isi hatinya, mencari jawaban atas rasa keingin tahuanya, dan menjadi model atas beragam peran di masyarakat" (Murdoko, E. W.H, 2017). Pengetahuan yang lebih itulah, yang perlu dimiliki oleh orang tua sehingga berjalannya usia anak, maka perkembangan anak ikut juga menampilkan tingkah laku yang berbeda-beda.
Orang tua yang tidak mengetahui perkembangan anaknya, maka kepribadian anak ikut juga tidak diketahui, sehingga orang tua tidak pernah tepat untuk memperlakukan maupun mendidika anaknya (Murdoko, E.W.H, 2017; Rahman, Mardhiah, & Azmidar, 2015). Lebih-lebih lagi, pengaruh teman sebaya yang begitu besarnya. Menurut Marini & Andriani (2005) dalam hasil penelitiannya tentang pengaruh teman sebaya ini yang dilkukan kepada remaja Sekolah Menengah Umum (SMU) dengan usia 15-18 tahun dengan jumlah 100 orang. Hasil penelitiannya menjelaskan bahwa adanya perbedaan yang signifikan dari pola asuh orang tua dengan tipe authoritative, asertif, authoritarian, permissive dan uninvolved. Namun, sayang sekali penelitian ini hanya merupakan penelitian kuantitatif, sehingga perbedaan tingkah laku anak dari tipe pola asuh orang tua tidak begitu jelas perbedaannya. Perbedaannya hanya terletak pada angka-angka.
Peran Pola Asuh Orang Tua
Orang tua dalam memberikan pendidikan kepada anaknya tidak terlepas dari perannya. Namun, dalam setiap era perubahan, termasuk juga peran orang tua ikut juga mengalami perubahan. Apalagi, anak yang hidup di zaman era digital pasti berbeda hidup di zaman era 80-an, sehingga pendidikan yang diberikan orang tua kepada anaknya ikut juga mengalami perbedaan.
Pada zaman era digital yang ditandai dengan perkembangan teknologi kemonikasi dan informasi, yang mana saat ini media televisi, ponsel pintar telah menjadi menu masakan sehari-hari, yang tidak lagi memandang usia (Mujiburrahman, 2013). Dari bentuk perubahan teknologi yang semakin cepat, sehingga peran pola asuh orang tua tidak hanya berkutat dengan pola pendidikan di era 80-an, tetapi mengalami perkembangan juga seperti perkembangannya teknologi saat ini. Bahkan, pengertian peran pun ikut juga mengalami perubahan dari sejarah kata peran itu digunakan.
Pada awalnya, kata peran dipakai oleh kalangan drama atau teater yang hidup di zaman Yunani kuno atau Romawi yang diperagakan oleh seorang aktor. Kemudian, kata peran ini sudah mulai menyebar yang bukan hanya dipakai dalam kontes drama, tetapi mulai dipaka pada ranah sosial, seperti posisi dari ranah sosial tersebut, termasuk dipakai juga kepada lembaga pendidikan dalam keluarga yakni orang tua (Suhardono, 2016). Berawal dari inilah, Kamus Besar Indonesia, mengartikan peran adalah tokoh dalam sebuah drama. ("arti kata peran-Kamus Besar Bahasa Indonesia (Tim Redaksi Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, 2009). Berawal dari ini jugalah tulisan ini menggunakan peran tetapi dalam lingkup orang tua, sehingga peran orang tua yang dimaksud adalah bimbingan yang dilakukan oleh oleh orang tua terhadap anaknya, dimulai sejak lahir sampai mengenalkan terhadap barang-barang teknologi sesuai dengan era informasi saat ini.
Sementara, pengertian pola asuh diberikan penjelasan oleh beberapa tokoh psikologi dan sosiologi, diantaranya:
- Singgih D. Gunarsa, pola asuh adalah "sebagai gambaran nyata dipakai orang tua untuk mengasuh (merawat, menjaga, mendidik) anak;
- Chabib Thoha, pola asuh adalah salah satu cara yang terbaik sebagai tanggung jawab orang tua ke anak;
- Sam Vaknin, pola asuh adalah sebagai "parenting is interaction between parent's and children during their care" (Tridonanto, 2014);
- Nasrun Faisal, pola asuh adalah interaksi yang dilakukan antara orang tua dan anak yang meliputi pemenuhan kebutuhan fisik dan kebutuhan psikologis; dan
- Kohn, pola asuh orang tua terhadap anaknya adalah melalui interaksi dengan anak-anaknya, yang mana perlakuan ini terdiri dari "memberi aturan-aturan, hadiah maupun hukuman, cara orang tua menunjukkan otoritas dan juga cara orang tua memberikan perhatian serta tanggapan kepada anaknya" (Susanto, 2015).
Dengan demikian, dari beberapa pengertian tersebut, pola asuh orang tua artinya tidak terlepas dari pengawasan orang tua terhadap anaknya. Segala-galanya tingkah laku anak, maka akan diawasi, dibimbing oleh orang tua. Dari anak lahir, sampai sudah menikah, walaupun orang tua sebenarnya sudah selesai tanggung jawabnya, tetapi kasih orang tua tidak akan habis kepada anaknya. Dalam hal ini, Rasulullah SAW juga mengingatkan kepada manusia, bahwa "Surga terletak di telapak kaki Ibu", Kemudian, bagi anak yang melakukan perbuatan negatif, maka hasilnya pun ikut terjangkit kepada orang tua.
Penelitan tentang pola asuh, sudah dilakukan sejak pertengahan abad ke 20, yang dilakukan oleh Baurmind. Dari penelitian ini, Baurmind membagi tiga pola asuh yang berbeda-beda, diantaranya otoriter, permisif, dan demokratis (Hasnawati, 2013). Ketiga pola asuh ini, diantaranya:
- Pola asuh orang tua tipe otoriter adalah orang tua yang berusaha untuk "membentuk, mengendalikan, dan mengevaluasi, perilaku serta sikap anak" berdasarkan kemamuan orang tua. Kemauan orang tua dari tipe ini, selalu menginginkan kebaikan terhadap anaknya, tetapi malah anak justru salah tanggap terhadap orang tua, sehingga anak merasa tertekan atau stress bahkan bisa juga menimbulkan depresi;
- Pola asuh permisif adalah menerima dengan secara terbuka kemuan anak, tetapi kepada hal yang positif, apa yang anak kerjakan. Tipe ini juga, orang tua sangat longgar terhadap anak sehingga anak diberi kebebasan semaunya; dan
- Pola asuh orang tua tipe demokratis atau autoritatif adalah mengarahkan anak secara rasional dan selalu sikap terbuka kepada anak, dan mengajari anak untuk selalu hidup mandiri. Pola asuh tipe demokratis, anak lebih condong melihat dampak negatif terhadap sesuatu yang dilakukannya, sehingga anak lebih menjauh jika terjadi sesuatu yang dianggap mencelakakan dirinya, misalnya perkelahian antar pelajar (Afiif & Kaharuddin, 2015; Fasisal, 2016; Fellasari & Lestari, 2017; Marini & Andriani, 2005; Rahman dkk., 2015; Susanto., 2105; Widyarini, 2009).
Selain tiga pola asuh di atas, ada juga pengasuhan anak ala Rasulullah SAW pada saat ini lebih sering dikenal dengan istilah prophetic parenting. Konsep dalam prophetic parrenting adalah mendidik anak dengan berkiblat pada cara-cara yang dilakukan Rasulullah SAW dalam mendidik keluarga dan sahabat beliau (Hairina, 2016).
Dari beberapa pengertian tersebut, maka setiap orang tua memiliki karakter yang berbeda-beda sehingga pola asuh yang diberikan kepada anaknya ikut juga mengalami perbedaan, yang bukan hanya dilihat dari tingkat pendidikan orang tua tetapi sejarah perjalan hidup orang tua yang bersangkutan. Karena setiap pengalaman orang tua memiliki perbedaan, sehingga dari pengalaman tersebut, lebih-lebih pengalaman yang sakit ditempuh oleh orang tua, maka orang tua berasumsi untuk mengubah hidupnya melalui ketururannya. Dari pengalaman inilah, orang tua sudah mulai mengambil peran pengasuhan yang dilakukan oleh anak-anaknya.
Dampak Perkembangan Teknologi Era Digital Terhadap Anak
Manusia yang hidup di era digital, dengan tidak dibatasi terhadap kecanggihan-kecanggihan yang ada, sehingga dampak positif maupun negatif ikut juga menaunginya. Akan tetapi, bagi yang memanfaatkan teknologi secara positif, maka teknologi bermanfaat bagi dirinya. Bahkan, dia bukan saja menguasai teknologi, tetapi teknologi tidak bisa untuk menguasainya. Sementara jika berlebih-lebihan dalam memanfaatkan teknologi, sehingga teknologi membawa dampat negatif baginya, maka dia bukan saja mengasai teknologi, tetapi teknologi juga telah menguasainya, bahkan telah merubahnya menjadi monster yang menakutkan.
Menurut Setiawan (2017) dari Universitas Pendidikan Indonesia, bahwa dampak positif dan negatif teknologi di era digital ini, diantaranya:
- Dampak positif di era digital adalah a) Informasi yang dibutuhkan lebih cepat dan mudah dalam mengaksesnya; b) Kemudahan dalam bekarja karena didukung oleh teknologi; c) Sumber pengetahuan masyarakat semakin meningkat, karena kehadiran media dalam digital; d) Kualitas sumber daya manusia semakin meningkat, karena bisa belajar dari teknologi digital; e) Kualitas pendidikan semakin meningkat karena adanya kehadiran sumber belajar, seperti "perpustakaan online, media pembelajaran online, diskusi online; f) Munculnya bisnis toko online, yang mana masyarakat bisa saja pesan melalui online, tanpa lagi perlu ke luar rumah untuk membeli barang-barang yang diperlukan.
- Dampak negatif dari era digital adalah a) Pelanggaran atas "Hak Kekayaan Intelektual (HKI)" yang dapat menyebabkan plagiarisme tulisan orang; b) Pikiran semakin pendek dan kurang konsentrasi; c) Penyalahgunaan pengetahuan, seperti menerobos sistem perbankan; d) Tidak fektifnya kegiatan yang dilakukan dari kemudahan era digitial ini.
Urgensi Sinkronisasi Pola Asuh Orang Tua Di Era Digital
Perubahan teknologi tidak lepas dari dampak positif maupun negatif. Oleh karena itu, sebagai selaku orang tua harus mengantisipasi perilaku anaknya terhadap teknologi yang digunakan oleh anak. Lebih-lebih saat ini, permainan anak di zaman era 80-an telah tergantikan oleh telepon pintar, tablet pintar sehingga keseharian anak hanya berkutat di layar kecil dengan berbagai macam tipe permainan.
Kehidupan anak di zaman era digital, tidak terlepas dari telepon pintar dengan berbagai macam permainan di aplikasi game, sehingga keseharian anak dihabiskan dengan barang-barang teknologi (Santosa, 2015). Perkembangan media tersebut yang berdampak pada keluarga, sebagaimana yang diutarakan oleh Ogburn, bahwa perubahan pada keluarga saat ini telah menjadi kebudayaan adaptif (Ihromi, 2004). Selain itu juga, pola asuh dari orang tua kepada anaknya mengalami perubahan disebabkan oleh kemajuan ekonomi, teknologi dan persamaan derajat (Ihromi, 2004). Hal yang paling menarik, bahwa adanya perkembangan teknologi sehingga jurang perbedaan semakin tampak tehadap keluarga antara yang satu dengan yang lainnya, misalnya, orang tua si A membelikan anaknya tablet pintar, maka orang tua si B, ikut juga membelikan. Peran pola asuh orang tua yang pada awalnya dianggap penting , tetapi karena dengan perubahan teknologi tersebut sehingga orang tua memberikan pendidikan kepada anaknya semakin terabaikan. Orang tua tidak mementingkan pola asuh yang diberikan kepada anaknya, tetapi hanya mementingkan jurang perbedaan tersebut, sehingga untuk memenuhi kebutuhan si anak, dan mengobati jurang perbedaan tersebut, maka orang tua disebutkan dengan bekerja tanpa memikirkan anaknya.
Dengan demikian, berdasarkan riset, tipe pola komunikasi orang tua di zaman era digital, terdapat empat tipe, diantaranya (Muhammad Hayyumas, 2016):
- Pola konsesual, adanya musyawarah mudakat". Pola komunikasi dari tipe ini, bahwa selaku orang tua dengan senang sekali mengajak mengobrol anak-anaknya. Namun, segala keputusannya terletak kepada orang tua, walaupun berbeda dengan kemauan anak, tetapi alasan ketidak setujuan orang tua terhadap kemuan anak dijelaskan dengan mendalam sehingga anak lebih mengerti dan memahami, mengapa orang tuanya tidak menyetujui keinganannya.
- Pola pluralistik, komunikasi ini lebih terbuka, sehingga orang tua sering berbicara dengan anak. Bahkan, keputusan diserahkan kepada anak semuanya, yang penting keputusan itu adalah baik. Anak lebih berfikir secara bebas.
- Pola protektif, komunikasi orang tua dengan anaknya sangat jarang sekali, tetapi sifat kepatuhan atau norma dalam keluarga sangat tinggi, sehingga tipe ini, jika anak marah, maka akan lebih mudah dibujuk.
- Pola laissez-faire, pola ini jarang dilakukan oleh orang tua sehingga sering terjadi kesalahan dalam komunikasi antara orang tua dan anak.
Dari beberpa pola komunikasi tersebut, sama juga halnya dengan tipe pola asuh orang tua, baik otoriter, deokratis maupun permisif. Namun, dari beberapa pengamat penulis, bahwa ketiga pola asuh ini perlu disinkronisasikan sesuai dengan situasi dan kondisi perilaku anak. Karena, sebagai selaku orang tua, tidak hanya menekankan pada satu pola asuh, tetapi harus menggunakan ketiga pola asuh tersebut. Oleh karena itu, urgensi mendidik anak di era digital, sebagai selaku orang tua, wajib mengetahui perkembangan anak. Pola asuh otoriter diberlakukan kepada anak sesuai dengan situasi dan kondisi yang diperlukan. Orang tua berhak untuk memberikan kebebasan sebagaimana pola asuh permisif tetapi dalam hal negatif, sehingga ketiga pola asuh ini, baik otoriter, permisif dan demokratis masing-masing bekerjasama terhadap dampak yang dihasilkan oleh teknologi, misalnya jika pada waktu anak sedang belajar, maka orang tua mengontrolnya dengan sebaik mungkin, agar dalam kegiatan pembelajaran yang dilakukan oleh anak, maka anak tidak membawa telepon genggam. Orang tua selalu menasehati dan selalu berinovasi tentang masa depan anak, dan selalu memberikan hal yang positif terhadap apa yang dilkukan oleh orang tua adalah untuk kebaikan anak. Namun, segala-gala yang dilakukan oleh orang tua dalam pola asuhnya tidak terlepas dari tahap perkembangan moral anak, karena setiap jenjang usia anak, maka sistem pendidikan yang diberikan pun sesuai dengan tahap moral tersebut.
Menurut Fraenkel (1977) dan Kohlberg (1978), tingkat perkembangan anak terdiri dari Pra konvensional, konvensional dan pasca konvensional. Pada tingkat Pra konvensional, dengan umur anak 4-10 tahun, maka anak masih mematuhi ucapan orang tuanya. Anak takut terhadap hukuman, jika tidak mematuhi perintah orang tua. Anak pada tahap ini, maka tipe pola asuh orang tua adalah sinkronisasi antara otoriter, demokratis dan permisif. Tipe otoriter digunakan oleh orang tua pada saat anak mulai bertingkah, misalnya pada saat anak minta belikan sesuatu tetapi orang tua mempunyai uang, maka orang tua sudah mulai keras dengan anaknya. Setelah anak mulai mematuhi ucapan orang tuanya dan tidak ngotot untuk meminta belikan barang tersebut, maka pada saat malam orang tua menerapkan tipe pola asuh permisif. Orang tua menjelaskan hal-hal yang positif kenapa orang tua tidak membelikan kemauan anak, agar pikiran anak terbuka. Jika, sebagai orang tua hanya diam tanpa membujuk anak, nanti anak akan dendam kepada orang tuanya, sehingga tipe demokrasi orang tua kepada anaknya ikut juga diterapkan pada situasi kondisi ini. Sementara, anak pada tingkat konvensional dengan umur 10-13 memerlukan teladan dari orang tuanya. Disaat anak ingin bermain dengan orang tua, maka sebagai orang tua meluangkan waktu untuk bermain dengan anak, bukan sebaliknya, yakni orang tua hanya disibukkan dengan pekerjaan dan teknologi. Tahap demi tahap tipe pola asuh yang diberikan kepada anak, maka anak sudah terbiasa dengan didikan orang tuanya dalam lingkungan keluarga, sehingga anak disaat berada di lingkungan masyarakat atau anak sudah sampai pada tingkat pasca konvensional, maka anak tidak terpengaruh dengan gejolak sosial di lapangan masyarakat. Misalnya, anak melihat temannya bermain telepon pintar, maka anak yang telah dididik dengan tipe pola asuh sinkronisasi mengetahui dampak dari teknologi yang dimainkan oleh temannya, sehingga anak tidak mempunyai niat untuk meminta belikan barang-barang teknologi tersebut yang dimiliki oleh temannya.
Kesimpulan
Peran orang tua dalam mendidik anaknya tidak telepas dari pola asuh yang diterapkan oleh oran tua. Di zaman era digital saat ini, dengan berbagai macam kecanggihan teknologi sehingga tipe pola asuh orang tua kepada anaknya ikut juga mengalami perubahan. Tipe pola asuh yang terdiri dari otoriter, demokrasi dan permisif, dengan mengalami sistem pola asuh yang berbeda-beda yang diberikan oleh orang tua kepada anaknya sehingga menghasilkan karakter yang berbeda-beda juga kepada anak. Oleh karena itu, perubahan teknologi semakin pesat dari waktu ke waktu, maka sebagai selaku orang tua, seharusnya tidak tinggal diam dengan perkembangan yang ada terhadap pola asuh anaknya, tetapi harus melakukan perubahan juga, sehingga teknologi yang mengalami perubahan tetapi pola asuh anak ikut juga mengalami sinkronisasi antara peran pola asuh tipe otoriter, demokrasi dan permisif.
Post a Comment for "Peran Pola Asuh Orang Tua Di Era Digital"
Silahkan Tinggalkan Komentar Anda Disini :