Selayang Pandang Sistem Pendidikan Di Indonesia - Mas Operator
Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Selayang Pandang Sistem Pendidikan Di Indonesia

 Bangsa Indonesia sebagai bangsa yang dalam posisinya masih dikatakan sebagai Negara berkembang sedang mencari bentuk tentang bagaimana cara dan upaya agar menjadi negara maju terutama dibidang pendidikan. Dan sistem pendidikan di indonesia adalah mengacu pada Sistem Pendidikan Nasional yang merupakan sistem pendidikan yang akan membawa kemajuan dan perkembangan bangsa dan menjawab tantangan zaman yang selalu berubah hal ini sebagaimana visi dan misi Sistem Pendidikan Naisional yang tertuang dalam UU RI No. 20 tahun 2003 tentang SISDIKNAS adalah sebagai berikut:

Selayang Pandang Sistem Pendidikan Di Indonesia

"Terwujudnya sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga Negara Indonesia berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah".

Adapun misi yang diemban oleh SISDIKNAS adalah:

"Mengupayakan peluasan dan pemeratan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu bagi seluruh rakyat (UU RI SISDIKNAS: 41)".

Pendidikan Sebagai Sistem

Dalam Pasal 1 UU SISDIKNAS no. 2o tahun 2003 disebutkan bahwa Sistem Pendidikan Nasional adalah keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional. Dilihat dari bunyi pasal ini dapat diketahui bahwa pendidikan adalah sistem yang merupakan suatu totalitas struktur yang terdiri dari komponen yang saling terkait dan secara bersama menuju kepada tercapainya tujuan. Adapun komponen-komponen dalam pendidikan nasional antara lain adalah lingkungan, sarana-prasarana, sumberdaya dan masyarakat. Komponen-komponen tersebut bekerja secara bersama-sama, saling terkait dan mendukung dalam mencapi tujuan pendidikan.

Tujuan pendidikan nasional yang dirumuskan dalam UU SISDIKNAS adalah untuk mengembangkan potensi anak didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjawab warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Di samping komponen-komponen tersebut pendidikan juga meliputi aspek-aspek sistematik lainnya yaitu:

Isi - Proses - Tujuan

Implementasi dari aspek pendidikan isi dari adalah input (anak didik) sebagai obyek dalam pendidikan, sedangkan proses/transformasi merupakan mesin yang akan mencetak anak didik sesuai yang diharapkan, dan tujuan merupakan hasil akhir yang dicapai output. Perlu diketahui bahawa proses/transformasi dalam kerjanya dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti fasilitas, waktu, lingkungan, sumber daya, pendidik dan sebagainya, dimana faktor terebut sangat menentukan output.

Oleh karena itu sebuah sistem pendidikan perlu melakukan penyesuaian dengan lingkungan, karena lingkungan mengandung sejumlah kendala bagi bekerjanya sistem (misalnya: keterbatasan sumber daya). Untuk itu sistem pendidikan dituntut oleh lingkungan untuk mengolah sumber daya pendidikan secara efektif dan efisien.

Dengan demikian jelaslah bahwa makna pendidikan sebagai sistem adalah seluruh komponen yang ada dalam pendidikan (seperti lingkungan, masyarakat, sumber daya) dapat bekerja sama dalam mencapai tujuan pendidikan nasional, yang dalam implementasinya dapat dilihat dari aspek-aspek sistem yaitu input-proses-output, dan hasil akhir dari output dapat memberikan umpan balik terhadap input dan proses sehingga dapat diketahui hasil akhir tujuan pendidikan.

Gambaran Umum Sistem Pendidikan di Indonesia 

Gambaran sistem pendidikan di Indonesia yang menganut Sistem Pendidikan Nasional secara macro dapat dilihat dalam berbagai aspek antara lain sebagai berikut:

Pengelolaan

Sistem pendidikan di kelola secara sentralik, berlaku diseluruh tanah air. Tujuan pendidikan, materi ajar, metode pembelajaran, buku ajar, tenaga kependidikan, baik siswa, guru maupun karyawan, mengenai persyaratan penerimanya, jenjang kenaikan pangkatnya bahkan sampai penilaiannya diatur oleh pemerintah pusat dan berlaku untuk semua sekolah di seluruh pelosok tanah air.

Di samping itu sistem pendidikan diselenggarakan secara diskriminatif seperti masih terdapt sekolah-sekolah atau perguruan tingi yang dikelola oleh masyarakat. Sekolah Swasta dikelompokkan menjadi 3 (tiga) kelompok: terdaftar, diakui, dan disamakan dengan sekolah Negeri. Perguruan negeri dibiayai oleh pemerintah, sedangkan perguruan swasta dibiayai oleh masyarakat. Hanya sebagian kecil anak bangsa yang diterima di perguruan tinggi negeri, sebagian besar mereka di perguruan tinggi swasta. Dalam posisi demikian perguruan swasta dapat ditemukan di banyak tempat. Keberadaannya besar jumlahnya, tetapi rendah dalam mutu bila dibandingkan dengan perguruan negeri, yang lebih sedikit dalam jumlah tetapi lebih tinggi dalam mutu. Karena mayoritas dana, sarana, dan perhatian pemerintah dipusatkan di perguruan negeri.

Seiring dengan gambaran perlakuan di atas memberi kesan psikologis bahwa pendidikan adalah milik pemerintah, dan bukan milik masyarakat. Semangat jiwa pendidikan telah lepas dari jiwa masyarakat. Sekolah baik negeri maupun swasta terasa sudah tercabut dari lingkungan di dalam masyarakat. banyak lembaga pendidikan formal dari dasar sampai dengan perguruan tinggi yang telah menjadi komunitas atau kelompok tersendiri yang lepas dari masyarakatnya. Lembaga-lembaga itu hanya mementingkan status formal seperti ijazah dan gelar.

Sistem pendiikan berorientasi pada kepentingan dan bukan untuk kepentingan anak didik, pasar dan pengguna jasa pendidikan atau masyarakat dengan dalih bahwa strategi pendidikan nasional adalah untuk membekali generasi muda agar mampu membawa bangsa dan negeri ini cepat sejajar dengan bangsa dan Negara lain yang lebih maju. Namun dalam implikasi perkembangannya tidak diperoleh sesuai dengan apa yang dicita-citakan. Keahlian dan penguasaan IPTEK yang diperoleh sesuai menamatkan studinya berada dalam posisi dimiliki secara individual dan siap dijual melalui kontrak kerja demi uang, dan bukan menjadikan diri sebagai ilmuwan yang peduli dengan nilai-nilai kemanusiaan, bangsa dan negara.

Seiring dengan semangat demi Negara dalam menyelenggarakan sistem pendidikan seperti tersebut di atas, maka kerja pendidikan dilaksanakan di bawah otorita kekuasaan, padahal kerja pendidikan adalah kerja akademik dalam penglolaan lembaga-lembaga pendidikan, sekolah-sekolah dan perguruan tinggi dikenal dengan adanya eselonisasi jabatan atau kepegawaian. Misalnya dalam menyelenggarakan perguruan tinggi, rektor menempati eselon tertinggi sebaliknya ketua jurusan atau program studi berada di eselon bawah padahal hebat tidaknya suatu perguruan tinggi sangat tergantung pada kemauan dan keahlian ketua jurusan atau program studi para guru besar, doktor, dan dosen-dosen lainnya. Jadi saat ini terjadi salah urus dalam pengelenggaraan lembaga-lembaga pendidikan. Jika di dalam penyelenggaraan kantor-kantor birokrasi, ada hierarcy yang disusun berdasarkan senioritas menurut umur, masa jabatan dan kekuasaan. Itu sebabnya, dalam kerja akademik yang ada adalah reputasi keilmuwan yang menentukan tinggi rendahnya posisi dan pentingnya seseorang.

Sebagai akibat dari model pengelolaan sistem pendidikan tersebut, maka tidak terhindarkan bahwa pendidikan terkesan ekslusif dan elite, padahal seharus inklusif atau membaur, dan akrab dengan semua lapisan masyarakat. Ironisnya, tinggi rendahnya pendidikan yang telah dicapai tidak relevan dengan tinggi rendahnya moral. Kejahatan dalam skala besar pada umumnya justru dilakukan oleh mereka yang telah menikmati pendidikan tinggi, padahal yang diharapkan makin tinggi jenjang pendidikan yang dilampaui, makin banyak amalan baik yang diharapkan untuk masyarakat bersama.

Mata pelajaran yang harus diikuti oleh siswa selain dirasakan terlalu padat juga tidak bekesinambungan, tidak konsisten, juga tidak sesuai dengan minat dan kebutuhan anak didik dan bahkan tidak cocok dengan kebutuhan pasar. Sulitnya mencari pekerjaan seringkali disebabkan bukan karena tidak ada pekerjaan atau sempitnya kesempatan berusaha, tetapi disebabkan karena tidak adanya kecocokan antara kemampuan yang diperoleh melalui sekolah dengan tuntutan atau syarat kerja.

Seiring dengan uraian-uraian di atas, pelaksanaan pendidikan dilakukan dengan mentalitas proyek dan bukan dilaksanakan karena panggilan hati. Boleh jadi proyek pendidikan secara hukum atau peraturan perundang-undangan telah dilaksanakan secara benar, namun tidak ada jiwa pendidikan di dalamnya.

Peran Pemerintah dan Masyarakat

Pemerintah adalah pihak yang mengendalikan dan mengelola sistem pendidikan secara nasional. Meskipun dalam UU SISDIKNAS dikatakan bahwa masyarakat adalah mitra pemerintah dalam menyelenggarakan pendidikan dan memiliki kesempatan yang seluas untuk berperan serta dalam menyelenggarakan atau mengelola unit pendidikan, dengan tetap pada ciri-ciri identitasnya. Namun dalam praktiknya, semuanya ditentukan oleh pemerintah, lengkap dengan rambu-rambu dan ukuran-ukuran dalam penilainnya. Pemerintah melalukan pengawas atas penyelenggaraan pendidikan, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun masyarakat, dalam rangka pembinaan dan perkembangan satuan pendidikan yang bersangkutan.

Peran masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan yang antara lain dimanifestasikan dalam penyelanggaraan sekolah, keluarga, dan unit-unit pendidikan non-formal lainnya, juga terasa kosong, formalis, tidak berjiwa, terpisah-pisah, dan lepas dari sentuhan nilai-nilai kemanusiaan, nilai-nilai agama, budaya, dan nilai-nilai keadaban lainnya. Sperti disebuatkan di awal, sekolah adalah milik masyarakat, bukan milik pemerintah, individu  dan kelompok.

Materi Ajar

Senada dengan strategi sistem pendidikan tersebut, maka orientasi penyusunan materi ajar diarahkan untuk memenuhi kepentingan pemerintah agar target pembangunan dapat mengejar perumbuhan yang telah ditetapkan. Padalah globalisasi menuntut agar materi ajar diorientasikan demi kepentingan anak didik, pasar dan pembangunan IPTEK. Tentu saja semuanya ini dalam perspektif demi kepentingan bangsa dan negara.

Selain itu kurikulum dan materi ajar terkesan fragmentaris atau terpecah-pecah, kurang bekelanjutan dan kurang konsisten. Pilihan dan penentuan seta level materi ajar ditentukan pemerintah pusat, sedangkan sekolah dan satuan-satuan penyelenggaraan pendidikan dibawahnya cukup sebagai pelaksana teknis di lapangan.

Masih mengenai materi ajar, dalam kaitannya dengan agama, ilmu dan agama diajarkan secara terpisah yang disajikan secara fragmentaris, seperti halnya materi-materi ajar untuk ilmu-ilmu umum. Terdapat dikotomi diantara keduanya, tidak terdapat hubungan yang fungsional yang terjalin dalam kesatuan yang intgral diantara agama dan ilmu pengetahuan. Akibatnya materi ajar lepas dari nilai agama dan hanya mampu mengembangkan kecerdasan akal (intellectual quotient) dan tidak menyentuh pengambangan kecerdasan emosi (emotional quotient) dan kecerdasan spriritual (spiritual quotient) dan ketiga-tiganya (IQ, EQ, SQ) dalam zaman modern ini diharapkan bersumber dari dan berkembang dalam RQ (religious quotient).

Pendekatan dan Metodologi Pembelajaran

Sistem Pendidikan Nasional masih berpegang pada paradigma lama bahwa ilmu diperoleh dengan jalan diberikan atau diajarkan oleh orang lebih pandai atau guru kepada murid. Pola guru tahu-murid tidak tahu-guru memberi-murid menerima-guru aktif-murid pasif, masih terus dipraktekan. Tidak ada kritik atau koreksi terhadap pendapat guru, yang adalah minta penjelasan kemudian menerima dan mengikutinya.

Paradigma itu jelas kehilangan tempat dalam konteks modern dimana ilmu itu dicari. Polanya sudah berubah menjadi: guru memotivasi-mendorong-menfasikitasi-menemani murid mencari-bersam menemukan ilmu. Murid sendiri yang mencari ilmu dan memutuskannya. Kecuali itu paradigma era reformasi ini, ilmu tidak dalam posisi dimilki, tetapi dalam proses menjadi, dimana pencari ilmu terus menerus dalam proses menjadikan dirinya ilmuwan atau cendekiawan yang tidak kunjung berhenti. Dalam era global, sekolah boleh selesai, tetapi belajar tidak pernah selesai. Bobot ilmu tidak terletak pada hasil akhir atau final product, tetapi pada proses metodologi atau cara mencarinya. Dengan kata lain, metode pembelajaran baru titik tekannya pada meneliti dan bukan menerima barang jadi.

Ada kencenderungan model atau pola belajar baru yang berkembangan dewasa ini antara lain:

  1. Sistem pembelajaran berorientasi pada pengembangan liability, depency, dan kesetiaan saja, atau menjadi pekerjaan keras yang jujur.
  2. Pola atau model pendidikan dengan mengembangkan IQ, EQ, SQ, dan RQ. Karena dalam kehidupan modern ini tidak dapat hanya mengandalkan IQ saja, sebab ada banyak hal yang secara logika tidak benar, tetapi perasaan menyatakan bahwa itu benar, karena itulah diperlukan kecerdasan akal didampingi kecerdasan emosional.

Sumber Daya Manusia

Sumber daya manusia dilaksanakan di bawah otoritas kekuasaan dan kekuatan administrasi birokrasi. Guru memerlukan sebagai pegawai dan tidak sebagai tenaga pendidikan dan pengajar. Perlakuan sebagai pegawai mengutamakan kesetiaan, kejujuran, kedisiplinan, dan produksi kerja. Sedangkan perlakuan sebagai pendidik atau pengajar, selain mementingkan kejujuran (moral, kedisiplinan dan pengabdian), juga sangat mementingkan krativitas, inovasi dan dedikasi. Guru diharapkan mampu mengembangkan budaya belajar yang baik pada siswanya.

Dewasa ini dirasakan bahwa guru, baik secara kuantitas maupun kualitas, kurang memadai. Dirasakan adanya kekurangan dalam beragaman dan kompetensi pedagogik. Banyak guru, terutama untuk sekolah di daerah terpencil yang salah kamar, yaitu tidak sesuai antara ilmu yang dipelajari dengan mata pelajaran yang diajarkan. Banyak tenaga atau pegawai kantor, pegawai instansi non pendidikan yang terpaksa direkrut menjadi guru, sehingga dewasa ini banyak guru yang tidak ahli atau rendah dalam mutu.

Ada dua faktor pokok mengapa sumber daya manusia pendidikan dapat bermutu rendah. Pertama, kemiskinan karena penghasilan berada di bawah standar. Kedua: sistem pengelolaan sebagai akibat penanganan sekolah di bawah otoritas kantor birokrasi dan bukan sebagai lembaga akademik.

Dana

Dana merupakan salah satu syarat yang ikut menentukan keberhasilan penyelenggaraan pendidikan bermutu. Selama ini mutu pendidikan nasional rendah dikeluhkan karena dana yang tidak memadai. Benarkah pernyataan ini? Benarkah jika dana telah dipenuhi maka dengan sendirinya pendidikan bermutu akan tercapai?

Penyelenggaraan pendidikan bermutu memang membutuhkan dana. Tanpa adanya dana yang cukup berimplikasi pada rendahnya pengelolaan pendidikan. Namun dana bukan satu-satunya unsur yang menentukan keberhasilan usaha penyelenggaraan pendidikan. Hasil akan tergantung pada tiga faktor kunci lainnya, yaitu: sitem, keahlian, dan moral penyelenggara.

Masalah yang dihadapi oleh pendidikan nasional dalam memperoleh dan menggunakan anggaran pendidikan nasional ialah banyak instansi atau departemen pemerintah yang terlibat, lengkap dengan kewenangan dan otoritasnya masing-masing. Instansi itu adalah kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Keuangan dan Departemen lainnya yang menyelenggarakan kegiatan pendidikan, yang sesungguhnya bagian dari kegiatan pendidikan nasional. Dalam mengajukan anggaran penyelenggaraan pendidikan ke Bappenas dan anggaran rutin pendidikan ke Kementerian Keuangan tidak ada koordinasi atau kerjasama dengan departemen-departemen tersebut.

Evaluasi Diri dan Akreditasi

Evaluasi diri dilakukan oleh penyelenggara sendiri dan akreditasi dilakukan oleh pihak luar, baik oleh pemerintah, pasar, dan pengguna jasa pendidikan atau stakeholder lainnya. Kedua evaluasi tersebut kurang membudaya di lingkungan penyelenggara pendidikan, sehingga peserta didik tidak mengetahui sekolah apa tempat mereka belajar. Pasar dan pengguna jasa pendidikan juga tidak mengetahui lulusan dari sekolah seperti apa yang meraka butuhkan dan sebagainya.

Kenyataannya, hingga saat ini dalam Sistem Pendidikan Nasional hanya ada satu Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT).

Post a Comment for "Selayang Pandang Sistem Pendidikan Di Indonesia"